Minggu, 10 April 2016

Di Persimpangan Itu



 

Lebih dari 15 tahun perjalanan mengarungi seluk-beluk makhluk yang bernama “ekonomi Islam” atau ekonomika Islam menurut  terminologi ilmu ekonomi. Namun bukannya mendapatkan kemantapan justru melahirkan beraneka macam kegalauan. Serasa hanya perputar-putar pada sebuah lokasi (seperti orang terkena ajian puter giling) kalau tidak mau dibilang stagnan. Dalam penulisan ini pun mengalami kebingungan juga akan dimulai dari mana kah kebingungannya.

Dalam berbagai majelis taklim, para ustadz sering menyampaikan bahwa ilmu itu harus beriring dengan amalan yang berarti ilmu dituntut untuk diterapkan dan segala sesuatu diterapkan harus berdasarkan ilmu. Ilmu bukanlah untuk memperoleh kenaikin pangkat, apalagi kesombongan untuk saling membanggakan diri dan berolok-olok. Nah, bagaimana dengan ekonomika Islam sendiri? Sebuah disiplin ilmu yang relatif baru dan sedang mencari jati diri apakah sudah menjawab kebutuhan dari ilmu tersebut. Apakah secara rancang bangun filsafat ilmu sudah memungkinkan untuk tujuan tersebut. Beberapa paragraf di bawah ini adalah fakta-fakta yang mepertanyakan dari berbagai aspek yang membuat kedudukan ekonomika Islam mengambang di samping kedudukan ilmu ekonomi sendiri yang memang sudah lebih mapan.

Jika membicarakan pada ranah filsafat ilmu, maka setidaknya ada tiga hal yang harus dibicarakan, yaitu ontologi, epstimologi, dan aksiologi. Ontologi menjawab pertanyaan apa, epistemologi menjawab pertanyaan bagaimana, dan aksiologi menjawab pertanyaan untuk apa dari sebuah struktur ilmu. Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, apakah ilmu ekonomi Islam sudah didudukkan pada ketiga hal tersebut secara tepat sehingga sesuai dengan prinsip ilmu untuk amal? Haruskah paralel dengan ilmu ekonomi yang sudah ada? Atau haruskah selalu berbeda?

Jika kita membicarakan “ekonomi”, maka setidaknya ada tiga hal yang menjadi topik pembicaraan, yaitu ilmu ekonomi, sistem ekonomi, dan perekonomian (kondisi ekonomi). Ilmu ekonomi secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu bagaimana mengatur sebuah rumah tangga (individu, perusahaan, pemerintahan, luar negeri) untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem ekonomi dapat dimaknai sebagai sebuah tatanan dalam perekonomian di mana satu dan lainnya saling berkaitan. Pereknomian merupakan kondisi ekonomi pada suatu daerah tertentu. Jika dibuat keterkaitannya maka untuk membuat sistem ekonomi didasarkan pada ilmu ekonomi, dan sistem ekonomi terseut jika diterapkan akan mempengaruhi pereknomian suatu daerah. Bagaimanakah ekonomi Islam jika didudukkan pada tiga hal tersebut? Haruskah asumsi yang digunakan adalah muslim yang taat? Padahal kenyataan di dunia ini adalah sebaliknya. Haruskah yang dipelajari hanyalah perekonomian umat Islam sajakah? Padahal kenyatannya negara yang perekonomiannya maju justru didominasi masyarakat non muslim. Idealnya sistem yang dibangun memang harus berdasarkan syariah Islam tetapi pada kenyataannya terlalu jauh dari itu untuk bisa mengubah.

Dalam Islam, dikenal ayat-ayat yang bersifat qouliyah dan yang bersifat kauniyah. Secara sederhana, ayat-ayat qouliyah adalah yang terusurat atau tertulis di dalam kitab suci Al Qur’an yang merupakan sabda dari Alloh SWT sedangkan ayat-ayat kauniyah tidak tersurat secara langsung melainkan tersirat dalam fenomena alam semesta beserta masyarakatnya yang harus digali sendiri oleh manusia. Ayat-ayat qouliyah banyak berisi perintah dan larangan kepada manusia sedangkan ayat-ayat kauniyah banyak bercerita tentang realita yang ada, baik itu terjadi pada benda hidup maupun benda mati. Kedua ayat-ayat tersebut bersifat komplementer. Nah, bagaimanakah kedudukan ekonomi Islam diantara keduanya? Tentu mencakup keduanya. Akan tetapi apakah sudah mencapai kata “sinkron” dalam mendudukkannya, itulah yang menjadi permasalahan utama.

Jika membicarakan pada tataran epistemologi, ada beberapa metode pendekatan seperti empirisme, rasionalisme, positivisme, dan lain sebagainya. Ilmu ekonomi dan ilmu ekonomi Islami seringkali dibenturkan pada perbandingan antara positif dan normatif. Ilmu ekonomi dinisbatkan pada positivisme sedangkan ilmu ekonomi Islam pada normativisme. Apakah harus demikian? Jika dikaitkan dengan ayat-ayat qouliyah, maka memang seharusnya ilmu ekonomi Islami juga harus diwarnai dengan asumsi-asusmi yang ideal menurut syariat Islam, akan tetapi haruskah selalu? Pada kenyataannya di dunia ini lebih banyak manusia yang tidak taat sehingga menggunakan asumsi manusia tidak taat tentu akan menghasilkan teori yang mempunyai tingkat generalisasi lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan ayat-ayat kauniah, maka keberadaan ilmu ekonomi (baik yang Islami maupun tidak) adalah salah satu cara kita untuk menggali ayat-ayat kauniyah dalam ranah sosial/muamalah yang bertebaran di muka bumi. Untuk menggalinya, tentu saja pendekatan positif (bersifat inderawi) sangatlah dikedepankan dibandingkan dengan pendekatan normatif (tidak bebas nilai). Saya pikir, keharusan menggunakan syariat Islam sebagai dasar adalah pada tingkatan penyusunan sistem ekonomi. Sistem ekonomi haruslah Islami, baik ketika didesain dengan teori yang berasumsi Islami atau pun tidak. Pemberlakuan sistem yang Islami mempunyai implikasi pada lebih terjaminnya kondisi perekonomian yang baik.

Di dalam kuliah metodologi penelitian, sering dibahas dan diperbandingkan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Kedua metode tersebut tidak selayaknya untuk diadu untuk dikatakan mana yang lebih bagus, tetapi jusrtu diserasikan peranannya untuk saling melengkapi. Qualitative and quantitative method is “AND”, is not “OR”. Lantas, apakah kemudian ilmu ekonomi Islam harus disejajarkan dengan ilmu ekonomi dalam hal mendewa-dewakan metode kuantitatif dan mengebiri peranan metode kualitatif? Tentu saja tidak.

Jika belajar sejarah filsafat ilmu, maka sesungguhnya ilmu ekonomi tidak terpisahkan dengan disiplin ilmu sosial lainnya, tidak pula harus kuantitatif, tidak pula harus positif (lihat karya-karya Adam Smith yang penuh nuansa moral). Ilmu ekonomi berbelok dari asalnya pada zaman Alfred Marshal (Neo Klasik) yang sering dianggap sebagai Bapak Ekonomi Mikro. Pada masa itulah, ilmu ekonomi dipisahkan dari disiplin ilmu lainnya, dipisahkan dari norma, dan dikuantifikasi sehingga yang terjadi seperti sekarang ini (menjadi budak dari matematika). Semua teori ekonomi harus bisa dinyatakan dalam hubungan matematis, hubungan tersebut harus dinyatakan dalam sebuah fungsi yang kontinyu sehingga bisa didiferensiasikan dan dicari nilai ekstrimnya, semua demi pemenuhan ambisis “optimisasi”. Jika membicarakan pada tataran meta pardigma makan ilmu ekonomi mayoritas didudukkan pada kuadran obyektif-satus quo yang berimplikasi bahwa ilmu ekonomi harus selalu deduktif dan kuantitatif. Haruskah ilmu ekonomi Islami sebangun dengan ilmu ekonomi? Tentu saja tidak. Apakah ilmu ekonomi Islami harus berbeda dengan ilmu ekonomi? Jawabannya tentu saja tidak.

Sebagai akhir dari tulisan, saya akan membuat sebuah perumpamaan. Belajar ekonomika adalah belajar ilmu racun dan belajar ekonomika Islami adalah belajar ilmu gizi. Sistem ekonomi diibaratkan gaya hidup sehat. Tujuan perekonomian diibaratkan sehatnya tubuh manusia. Nah, untuk mencapai kesehatan manusia haruskah dikotak-kotak keilmuannya? Haruskah dalam mendesain gaya hidup sehat hanya dengan mempelajari ilmu gizi saja? Tentu tidak, mempelajari keduanya akan lebih optimal meningkatkan kesehatan. Belajar ilmu racun untuk mencegah atau menyembuhkan orang yang keracunan/tidak sehat, belajar ilmu gizi untuk menjaga atau meningkatkan kesehatan. Dalam pengambilan kebijakan publik, acap kali tak hanya bisa menggunakan satu disiplin ilmu atau satu teori saja. Membuat kebijakan publik, dalam hal ini bisa dimaknai membuat sistem ekonomi perlu pemikiran multidisiplin, dan di sinilah peran sinergisme ilmu ekonomi dan ilmu ekonomi Islami diperlukan.

Apakah yang demikian ini sudah diterapkan oleh “para yang mengaku aktivis ekonomi Islam” dengan baik? Tentu saja masih jauh dari harapan. Alih-alih berpikir sampai ke sana, mayoritas dari mereka sibuk berkutat dengan masalah keuangan, sibuk melabeli dagangan mereka agar nampak sesuai syariah. Atau mereka memaksakan rancang bangun ilmu ekonomi Islam yang harus berbeda tetapi harus tetap sebangun nomeklaturnya dengan ilmu ekonomi. Di sini lah saya kadang merasa sedih. Ibarat berhenti di persimpangan, ekonomi Islam tak segera menentukan hendak ke arah mana karena barangkali memang mereka tak bisa membaca arah dan jumlah persimpangan yang mereka hadapi. Entah sampai kapan? Hanya waktu yang bisa menjawab.



Duddy Roesmara Donna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar