Lebih dari 15 tahun perjalanan
mengarungi seluk-beluk makhluk yang bernama “ekonomi Islam” atau ekonomika
Islam menurut terminologi ilmu ekonomi.
Namun bukannya mendapatkan kemantapan justru melahirkan beraneka macam
kegalauan. Serasa hanya perputar-putar pada sebuah lokasi (seperti orang
terkena ajian puter giling) kalau tidak mau dibilang stagnan. Dalam penulisan
ini pun mengalami kebingungan juga akan dimulai dari mana kah kebingungannya.
Dalam berbagai majelis
taklim, para ustadz sering menyampaikan bahwa ilmu itu harus beriring dengan
amalan yang berarti ilmu dituntut untuk diterapkan dan segala sesuatu
diterapkan harus berdasarkan ilmu. Ilmu bukanlah untuk memperoleh kenaikin
pangkat, apalagi kesombongan untuk saling membanggakan diri dan berolok-olok.
Nah, bagaimana dengan ekonomika Islam sendiri? Sebuah disiplin ilmu yang
relatif baru dan sedang mencari jati diri apakah sudah menjawab kebutuhan dari
ilmu tersebut. Apakah secara rancang bangun filsafat ilmu sudah memungkinkan
untuk tujuan tersebut. Beberapa paragraf di bawah ini adalah fakta-fakta yang
mepertanyakan dari berbagai aspek yang membuat kedudukan ekonomika Islam
mengambang di samping kedudukan ilmu ekonomi sendiri yang memang sudah lebih
mapan.
Jika membicarakan pada
ranah filsafat ilmu, maka setidaknya ada tiga hal yang harus dibicarakan, yaitu
ontologi, epstimologi, dan aksiologi. Ontologi menjawab pertanyaan apa,
epistemologi menjawab pertanyaan bagaimana, dan aksiologi menjawab pertanyaan
untuk apa dari sebuah struktur ilmu. Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, apakah
ilmu ekonomi Islam sudah didudukkan pada ketiga hal tersebut secara tepat
sehingga sesuai dengan prinsip ilmu untuk amal? Haruskah paralel dengan ilmu
ekonomi yang sudah ada? Atau haruskah selalu berbeda?
Jika kita membicarakan
“ekonomi”, maka setidaknya ada tiga hal yang menjadi topik pembicaraan, yaitu
ilmu ekonomi, sistem ekonomi, dan perekonomian (kondisi ekonomi). Ilmu ekonomi
secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu bagaimana mengatur sebuah rumah
tangga (individu, perusahaan, pemerintahan, luar negeri) untuk mencapai tujuan
tertentu. Sistem ekonomi dapat dimaknai sebagai sebuah tatanan dalam perekonomian
di mana satu dan lainnya saling berkaitan. Pereknomian merupakan kondisi
ekonomi pada suatu daerah tertentu. Jika dibuat keterkaitannya maka untuk
membuat sistem ekonomi didasarkan pada ilmu ekonomi, dan sistem ekonomi terseut
jika diterapkan akan mempengaruhi pereknomian suatu daerah. Bagaimanakah
ekonomi Islam jika didudukkan pada tiga hal tersebut? Haruskah asumsi yang
digunakan adalah muslim yang taat? Padahal kenyataan di dunia ini adalah
sebaliknya. Haruskah yang dipelajari hanyalah perekonomian umat Islam sajakah?
Padahal kenyatannya negara yang perekonomiannya maju justru didominasi
masyarakat non muslim. Idealnya sistem yang dibangun memang harus berdasarkan
syariah Islam tetapi pada kenyataannya terlalu jauh dari itu untuk bisa
mengubah.
Dalam Islam, dikenal ayat-ayat
yang bersifat qouliyah dan yang bersifat kauniyah. Secara sederhana, ayat-ayat
qouliyah adalah yang terusurat atau tertulis di dalam kitab suci Al Qur’an yang
merupakan sabda dari Alloh SWT sedangkan ayat-ayat kauniyah tidak tersurat
secara langsung melainkan tersirat dalam fenomena alam semesta beserta
masyarakatnya yang harus digali sendiri oleh manusia. Ayat-ayat qouliyah banyak
berisi perintah dan larangan kepada manusia sedangkan ayat-ayat kauniyah banyak
bercerita tentang realita yang ada, baik itu terjadi pada benda hidup maupun
benda mati. Kedua ayat-ayat tersebut bersifat komplementer. Nah, bagaimanakah
kedudukan ekonomi Islam diantara keduanya? Tentu mencakup keduanya. Akan tetapi
apakah sudah mencapai kata “sinkron” dalam mendudukkannya, itulah yang menjadi
permasalahan utama.
Jika membicarakan pada
tataran epistemologi, ada beberapa metode pendekatan seperti empirisme,
rasionalisme, positivisme, dan lain sebagainya. Ilmu ekonomi dan ilmu ekonomi
Islami seringkali dibenturkan pada perbandingan antara positif dan normatif.
Ilmu ekonomi dinisbatkan pada positivisme sedangkan ilmu ekonomi Islam pada
normativisme. Apakah harus demikian? Jika dikaitkan dengan ayat-ayat qouliyah,
maka memang seharusnya ilmu ekonomi Islami juga harus diwarnai dengan
asumsi-asusmi yang ideal menurut syariat Islam, akan tetapi haruskah selalu?
Pada kenyataannya di dunia ini lebih banyak manusia yang tidak taat sehingga
menggunakan asumsi manusia tidak taat tentu akan menghasilkan teori yang mempunyai
tingkat generalisasi lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan ayat-ayat kauniah,
maka keberadaan ilmu ekonomi (baik yang Islami maupun tidak) adalah salah satu
cara kita untuk menggali ayat-ayat kauniyah dalam ranah sosial/muamalah yang
bertebaran di muka bumi. Untuk menggalinya, tentu saja pendekatan positif
(bersifat inderawi) sangatlah dikedepankan dibandingkan dengan pendekatan
normatif (tidak bebas nilai). Saya pikir, keharusan menggunakan syariat Islam
sebagai dasar adalah pada tingkatan penyusunan sistem ekonomi. Sistem ekonomi
haruslah Islami, baik ketika didesain dengan teori yang berasumsi Islami atau
pun tidak. Pemberlakuan sistem yang Islami mempunyai implikasi pada lebih
terjaminnya kondisi perekonomian yang baik.
Di dalam kuliah metodologi
penelitian, sering dibahas dan diperbandingkan antara metode kualitatif dan
kuantitatif. Kedua metode tersebut tidak selayaknya untuk diadu untuk dikatakan
mana yang lebih bagus, tetapi jusrtu diserasikan peranannya untuk saling
melengkapi. Qualitative and quantitative method is “AND”, is not “OR”. Lantas,
apakah kemudian ilmu ekonomi Islam harus disejajarkan dengan ilmu ekonomi dalam
hal mendewa-dewakan metode kuantitatif dan mengebiri peranan metode kualitatif?
Tentu saja tidak.
Jika belajar sejarah filsafat
ilmu, maka sesungguhnya ilmu ekonomi tidak terpisahkan dengan disiplin ilmu
sosial lainnya, tidak pula harus kuantitatif, tidak pula harus positif (lihat
karya-karya Adam Smith yang penuh nuansa moral). Ilmu ekonomi berbelok dari
asalnya pada zaman Alfred Marshal (Neo Klasik) yang sering dianggap sebagai
Bapak Ekonomi Mikro. Pada masa itulah, ilmu ekonomi dipisahkan dari disiplin
ilmu lainnya, dipisahkan dari norma, dan dikuantifikasi sehingga yang terjadi
seperti sekarang ini (menjadi budak dari matematika). Semua teori ekonomi harus
bisa dinyatakan dalam hubungan matematis, hubungan tersebut harus dinyatakan
dalam sebuah fungsi yang kontinyu sehingga bisa didiferensiasikan dan dicari
nilai ekstrimnya, semua demi pemenuhan ambisis “optimisasi”. Jika membicarakan
pada tataran meta pardigma makan ilmu ekonomi mayoritas didudukkan pada kuadran
obyektif-satus quo yang berimplikasi bahwa ilmu ekonomi harus selalu deduktif
dan kuantitatif. Haruskah ilmu ekonomi Islami sebangun dengan ilmu ekonomi?
Tentu saja tidak. Apakah ilmu ekonomi Islami harus berbeda dengan ilmu ekonomi?
Jawabannya tentu saja tidak.
Sebagai akhir dari tulisan,
saya akan membuat sebuah perumpamaan. Belajar ekonomika adalah belajar ilmu
racun dan belajar ekonomika Islami adalah belajar ilmu gizi. Sistem ekonomi
diibaratkan gaya hidup sehat. Tujuan perekonomian diibaratkan sehatnya tubuh
manusia. Nah, untuk mencapai kesehatan manusia haruskah dikotak-kotak
keilmuannya? Haruskah dalam mendesain gaya hidup sehat hanya dengan mempelajari
ilmu gizi saja? Tentu tidak, mempelajari keduanya akan lebih optimal
meningkatkan kesehatan. Belajar ilmu racun untuk mencegah atau menyembuhkan
orang yang keracunan/tidak sehat, belajar ilmu gizi untuk menjaga atau
meningkatkan kesehatan. Dalam pengambilan kebijakan publik, acap kali tak hanya
bisa menggunakan satu disiplin ilmu atau satu teori saja. Membuat kebijakan
publik, dalam hal ini bisa dimaknai membuat sistem ekonomi perlu pemikiran
multidisiplin, dan di sinilah peran sinergisme ilmu ekonomi dan ilmu ekonomi
Islami diperlukan.
Apakah yang demikian ini
sudah diterapkan oleh “para yang mengaku aktivis ekonomi Islam” dengan baik?
Tentu saja masih jauh dari harapan. Alih-alih berpikir sampai ke sana,
mayoritas dari mereka sibuk berkutat dengan masalah keuangan, sibuk melabeli
dagangan mereka agar nampak sesuai syariah. Atau mereka memaksakan rancang
bangun ilmu ekonomi Islam yang harus berbeda tetapi harus tetap sebangun
nomeklaturnya dengan ilmu ekonomi. Di sini lah saya kadang merasa sedih. Ibarat
berhenti di persimpangan, ekonomi Islam tak segera menentukan hendak ke arah
mana karena barangkali memang mereka tak bisa membaca arah dan jumlah
persimpangan yang mereka hadapi. Entah sampai kapan? Hanya waktu yang bisa
menjawab.
Duddy Roesmara Donna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar