Riba adalah salah satu
permasalahan yang paling rumit dan luas dalam ranah muamalah perniagaan. Dalam
tulisan ini, pembahasan riba lebih difokuskan pada riba qardh dan nasi’ah yang
secara mudah dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk sewa
menyewa uang. Sebagai salah satu jenis
dosa yang menduduki papan atas, riba mempunyai kekebalan dan privasi yang
melintas dalam ruang dan waktu. Jika dibandingkan dosa-dosa besar muamalah
lainnya (zina, mabuk, judi, durhaka, dan lainnya), riba mendapatkan fasilitas
berupa pengesahan, pelembagaan, pengundangan, bahkan penjaminan dari
pemerintah. Bahkan akhir-akhir ini mendapatkan pelabelan dengan syariah Islam,
sehingga terkesan kabur bahkan halal bagi orang awam. Adakah dosa-dosa muamalah
sehebat riba?
Bagaimana cara memberangus riba? Dalam konteks kekinian, saya kira istilah memberangus terlalu utopis untuk diwujudkan, istilah meminimalkan riba terdengar lebih realistis untuk diwujudkan. Akan tiba suatu masa, di mana setiap orang akan memakan riba, setidaknya terkena asapnya. Ungkapan tersebut sangat sesuai dengan kondisi sekarang ini.
Sebagai sebuah kebobrokan sistem, riba tentulah tidak berdiri sendiri. Riba bersanding dengan aneka kebobrokan lainnya dalam hubungan sebab akibat. Setidaknya riba bersanding dengan israf (berlebihan dalam konsumsi), tidak adanya qardhul hasan (pinjaman untuk kebaikan/tanpa bunga), dan ketidakmampuan berinvestasi langsung dalam bentuk syirkah (perserikatan bisnis dengan bagi hasil dan bagi rugi).
Berapakah persenkah
penjualan mobil, sepeda motor, dan rumah dengan cara kredit atau apapun namanya
yang serupa dengan itu? Pertanyaan sederhana ini menyiratkan besarnya
kontribusi riba terhadap tingginya konsumsi dan tingginya kontribusi konsumsi
konsumsi (yang berlebihan/israf) terhadap riba. Hubungan keduanya bersifat
timbal balik. Demi memuja keinginan, orang rela dengan berbagai upaya untuk
menyewa uang untuk berkonsumsi. Cara yang ampuh untuk mengurangi riba adalah
dengan cara menguragi israf sebagai hal pemicu riba. Dalam kaca mata ekonomi,
israf dapat dimaknai sebagai konsumsi yang melebihi kebutuhan. Kata kunci dalam
menghidari israf adalah dengan bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Kebutuhan manusia bersifat terbatas dan lebih terukur sedangkan keinginan
manusia tidak ada batasnya dan lebih tidak terukur. Banyak orang yang tidak
dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginan mereka. Untuk dapat merumuskan
kebutuhannya, seseorang terlebih dahulu harus merumuskan tujuan hidupnya.
Kebutuhan merupakan turunan dari tujuan hidup. Kembalilah pada tujuan hidup
yang benar, cukupi kebutuhan, kendalikan keinginan.
Tidak ada atau minimnya
lembaga yang menyediakan qardhul hasan merupakan faktor semakin maraknya riba. Orang
yang mempunyai kebutuhan mendesak dan bersifat darurat terpaksa harus menyewa
uang ke lembaga penyewa uang, baik yang formal maupun informal. Peranan lembaga
nirlaba yang bergerak di bidang ziswaf perlu ditingkatkan dalam rangka
mengurangi riba di masyarakat.
Kedua ulasan di atas
merupakan kebobrokan yang bersanding dengan riba dari sisi konsumsi
(permintaan). Kebobrokan berikut ini dipandang dari sisi produksi (penawaran).
Mayoritas umat Islam banyak meninggalkan, pura-pura tidak tahu, bahkan
benar-benar tidak tahu, bahwa ayat terpanjang dalam Al Qur’an mengatur masalah
pencatatan dalam setiap transaksi yang tidak tunai. Perserikatan bisnis
merupakan salah satu bentuk transaksi yang tidak tunai karena pada waktu
perjanjian dilakukan usaha yang direncanakan belum berjalan. Pencatatan tidak
hanya diperlukan pada waktu perjanjian usaha tetapi juga pada setiap transaksi
ketika bisnis tersebut berjalan (akuntansi) sehingga dapat disusun laporan
keuangan yang menunjukkan kinerja dan perkembangan bisnis tersebut. Keengganan
melakukan pencatatan tentu saja akan menghambat sekelompok orang untuk
melakukan perserikatan bisnis. Bagaimana mau berbagi hasil/rugi, jika
laba/ruginya saja tidak diketahui karena tidak adanya pencatatan keuangan. Jika
perserikatan bisnis tanpa pencatatan dipaksakan maka akan menyebabkan saling
berprasangka buruk antar pihak-pihak yang berserikat. Dengan demikian, menyewa
uang dengan menjaminkan aset merupakan solusi praktis yang “antarodhi minkum”
antara penyewa dan yang disewa, tetapi itu bukan merupakan “tijarah”, melainkan
riba nasi’ah. Pendidikan manajemen bisnis beserta pencatatannya mutlak
diperlukan guna mengurangi riba menuju investasi langsung (direct investment).
Yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana cara mewujudkan ketiga solusi tersebut? Pendekatan apa yang
lebih tepat digunakan? Pendekatan struktral, yaitu dengan mengkonversi lembaga
keuangan menjadi lembaga keuangan syariah, terbukti tidak efektif jika
ukurannya adalah ketaatan terhadap syariah Islam. Alih-alih semakin mendekati
ketaatan terhadap syariah Islam, yang terjadi justru lebih mengedepankan
perluasan pasar semata. Banyak dijumpai ketidakcocokkan antara Fatwa DSN MUI,
SOP dari LKS, dan kenyataan yang terjadi. Belasan tahun berlalu cukuplah untuk
menilai tingkat efektivitasnya. Pendekatan struktural akan menghadapi arus
kapitalisme global yang sistem ribawi yang bersifat masif, sistemik, dan masal.
Adakah di dunia ini negara yang tidak mempunyai bank atau bank sentral,
meskipun negara tersebut menjadikan syariat Islam sebagai dasar dan hukum
negara.
Untuk melengkapi pendekatan
struktural yang sudah marak berjalan, maka pendekatan secara kultural wajib
dilakukan. Pendekatan kultural berpotensi jauh lebih efektif dibandingkan
pendekatan struktural. Pendekatan kultural dilakukan dengan memberikan
pemahaman bermuamalah niaga yang benar kepada setiap umat Islam, mulai dari
anak-anak hingga dewasa. Pendekatan kultural bisa ditempuh dengan
pendidikan/dakwah yang bersifat formal maupun non formal. Jalur formal bisa
ditempuh dengan memasukkan kurikulum pembiasaan muamalah niaga ke dalam sekolah
bernasfaskan Islam sesuai dengan tingkatannya. Dengan demikian diharapkan bahwa
masyarakat memahami muamalah perniagaan, khususnya bahaya riba, sejak dini. Hal
ini tentu saja akan mempengaruhi preferensi mereka kelak jika dewasa.
Jalur pendidikan/dakwah non
formal dapat ditempuh dengan melakukan pembinaan langsung kepada masyarakat,
baik melalui berbagai majelis taklim, khotbah jumat, maupun aplikasi nyata
dalam lembaga masyarakat (seperti koperasi bisnis riil). Hendaknya ada
sekelompok pelaku dakwah yang memfokuskan dirinya pada ranah muamalah
perniagaan (seperti Aa Gym dengan Manajemen Qalbu-nya, Yusuf Mansyur dengan
sedekah-nya). Kelompok dakwah tersebut idealnya tersebar di seluruh nusantara
untuk memberikan warna yang benar pada muamalah perniagaan. Kelompok dakwah
tersbut secara “istiqamah” dan “istimrar” melakukan “branding” dan “framing”
kepada masyarakat bagaimana bermuamalah niaga yang benar dan menunjukkan juga
mana yang salah. Jadikan hal-hal yang sesuai dengan syariah Islam sebagai
sesuatu yang “keren” dan bergengsi dan yang tidak sesuai sebagai sesuatu yang
“hina dina”. Bukankah kita sering berdoa agar yang benar ditampakkan sebagai
kebenaran dan diberikan kekuatan untuk menjalankannya dan yang salah tampak
salah dan diberikan kekuatan untuk menghindarinya?
Sebagai penutup, fenomena
kearifan lokal di peredesaan yang dianggap “katrok” dan “subsisten” justru
mempunyai tingkat ketaatan terhadap syariah yang tinggi. Sebagai contoh dalam
lembaga non formal terdapat tabungan tanpa bunga, pinjaman tanpa bunga, dana
sosial yang murni “tabarru” (itulah “the real takaful”, lebih takaful dari yang
menamakan dirinya “takaful”). Pada pertanian banyak dijumpai model seperti
“maro, mrapat” yang merupakan penerapan akad syirkah yang nyata, bukan syirkah
abal-abal yang tidak terdapat bagi rugi lantaran memberlakukan jaminan. Tanpa
mengusik perkembangan lembaga keuangan syariah yang ada, mari kita tempuh
Gerakan Anti Riba (GARBA) dengan pendekatan kultural!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar