Senin, 11 April 2016

GARBA (GERAKAN ANTI RIBA)


Riba adalah salah satu permasalahan yang paling rumit dan luas dalam ranah muamalah perniagaan. Dalam tulisan ini, pembahasan riba lebih difokuskan pada riba qardh dan nasi’ah yang secara mudah dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk sewa menyewa uang. Sebagai salah satu jenis dosa yang menduduki papan atas, riba mempunyai kekebalan dan privasi yang melintas dalam ruang dan waktu. Jika dibandingkan dosa-dosa besar muamalah lainnya (zina, mabuk, judi, durhaka, dan lainnya), riba mendapatkan fasilitas berupa pengesahan, pelembagaan, pengundangan, bahkan penjaminan dari pemerintah. Bahkan akhir-akhir ini mendapatkan pelabelan dengan syariah Islam, sehingga terkesan kabur bahkan halal bagi orang awam. Adakah dosa-dosa muamalah sehebat riba?

Bagaimana cara memberangus riba? Dalam konteks kekinian, saya kira istilah memberangus terlalu utopis untuk diwujudkan, istilah meminimalkan riba terdengar lebih realistis untuk diwujudkan. Akan tiba suatu masa, di mana setiap orang akan memakan riba, setidaknya terkena asapnya. Ungkapan tersebut sangat sesuai dengan kondisi sekarang ini.

Sebagai sebuah kebobrokan sistem, riba tentulah tidak berdiri sendiri. Riba bersanding dengan aneka kebobrokan lainnya dalam hubungan sebab akibat. Setidaknya riba bersanding dengan israf (berlebihan dalam konsumsi), tidak adanya qardhul hasan (pinjaman untuk kebaikan/tanpa bunga), dan ketidakmampuan berinvestasi langsung dalam bentuk syirkah (perserikatan bisnis dengan bagi hasil dan bagi rugi).

Berapakah persenkah penjualan mobil, sepeda motor, dan rumah dengan cara kredit atau apapun namanya yang serupa dengan itu? Pertanyaan sederhana ini menyiratkan besarnya kontribusi riba terhadap tingginya konsumsi dan tingginya kontribusi konsumsi konsumsi (yang berlebihan/israf) terhadap riba. Hubungan keduanya bersifat timbal balik. Demi memuja keinginan, orang rela dengan berbagai upaya untuk menyewa uang untuk berkonsumsi. Cara yang ampuh untuk mengurangi riba adalah dengan cara menguragi israf sebagai hal pemicu riba. Dalam kaca mata ekonomi, israf dapat dimaknai sebagai konsumsi yang melebihi kebutuhan. Kata kunci dalam menghidari israf adalah dengan bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan manusia bersifat terbatas dan lebih terukur sedangkan keinginan manusia tidak ada batasnya dan lebih tidak terukur. Banyak orang yang tidak dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginan mereka. Untuk dapat merumuskan kebutuhannya, seseorang terlebih dahulu harus merumuskan tujuan hidupnya. Kebutuhan merupakan turunan dari tujuan hidup. Kembalilah pada tujuan hidup yang benar, cukupi kebutuhan, kendalikan keinginan.

Tidak ada atau minimnya lembaga yang menyediakan qardhul hasan merupakan faktor semakin maraknya riba. Orang yang mempunyai kebutuhan mendesak dan bersifat darurat terpaksa harus menyewa uang ke lembaga penyewa uang, baik yang formal maupun informal. Peranan lembaga nirlaba yang bergerak di bidang ziswaf perlu ditingkatkan dalam rangka mengurangi riba di masyarakat.

Kedua ulasan di atas merupakan kebobrokan yang bersanding dengan riba dari sisi konsumsi (permintaan). Kebobrokan berikut ini dipandang dari sisi produksi (penawaran). Mayoritas umat Islam banyak meninggalkan, pura-pura tidak tahu, bahkan benar-benar tidak tahu, bahwa ayat terpanjang dalam Al Qur’an mengatur masalah pencatatan dalam setiap transaksi yang tidak tunai. Perserikatan bisnis merupakan salah satu bentuk transaksi yang tidak tunai karena pada waktu perjanjian dilakukan usaha yang direncanakan belum berjalan. Pencatatan tidak hanya diperlukan pada waktu perjanjian usaha tetapi juga pada setiap transaksi ketika bisnis tersebut berjalan (akuntansi) sehingga dapat disusun laporan keuangan yang menunjukkan kinerja dan perkembangan bisnis tersebut. Keengganan melakukan pencatatan tentu saja akan menghambat sekelompok orang untuk melakukan perserikatan bisnis. Bagaimana mau berbagi hasil/rugi, jika laba/ruginya saja tidak diketahui karena tidak adanya pencatatan keuangan. Jika perserikatan bisnis tanpa pencatatan dipaksakan maka akan menyebabkan saling berprasangka buruk antar pihak-pihak yang berserikat. Dengan demikian, menyewa uang dengan menjaminkan aset merupakan solusi praktis yang “antarodhi minkum” antara penyewa dan yang disewa, tetapi itu bukan merupakan “tijarah”, melainkan riba nasi’ah. Pendidikan manajemen bisnis beserta pencatatannya mutlak diperlukan guna mengurangi riba menuju investasi langsung (direct investment).

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mewujudkan ketiga solusi tersebut? Pendekatan apa yang lebih tepat digunakan? Pendekatan struktral, yaitu dengan mengkonversi lembaga keuangan menjadi lembaga keuangan syariah, terbukti tidak efektif jika ukurannya adalah ketaatan terhadap syariah Islam. Alih-alih semakin mendekati ketaatan terhadap syariah Islam, yang terjadi justru lebih mengedepankan perluasan pasar semata. Banyak dijumpai ketidakcocokkan antara Fatwa DSN MUI, SOP dari LKS, dan kenyataan yang terjadi. Belasan tahun berlalu cukuplah untuk menilai tingkat efektivitasnya. Pendekatan struktural akan menghadapi arus kapitalisme global yang sistem ribawi yang bersifat masif, sistemik, dan masal. Adakah di dunia ini negara yang tidak mempunyai bank atau bank sentral, meskipun negara tersebut menjadikan syariat Islam sebagai dasar dan hukum negara.

Untuk melengkapi pendekatan struktural yang sudah marak berjalan, maka pendekatan secara kultural wajib dilakukan. Pendekatan kultural berpotensi jauh lebih efektif dibandingkan pendekatan struktural. Pendekatan kultural dilakukan dengan memberikan pemahaman bermuamalah niaga yang benar kepada setiap umat Islam, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Pendekatan kultural bisa ditempuh dengan pendidikan/dakwah yang bersifat formal maupun non formal. Jalur formal bisa ditempuh dengan memasukkan kurikulum pembiasaan muamalah niaga ke dalam sekolah bernasfaskan Islam sesuai dengan tingkatannya. Dengan demikian diharapkan bahwa masyarakat memahami muamalah perniagaan, khususnya bahaya riba, sejak dini. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi preferensi mereka kelak jika dewasa.

Jalur pendidikan/dakwah non formal dapat ditempuh dengan melakukan pembinaan langsung kepada masyarakat, baik melalui berbagai majelis taklim, khotbah jumat, maupun aplikasi nyata dalam lembaga masyarakat (seperti koperasi bisnis riil). Hendaknya ada sekelompok pelaku dakwah yang memfokuskan dirinya pada ranah muamalah perniagaan (seperti Aa Gym dengan Manajemen Qalbu-nya, Yusuf Mansyur dengan sedekah-nya). Kelompok dakwah tersebut idealnya tersebar di seluruh nusantara untuk memberikan warna yang benar pada muamalah perniagaan. Kelompok dakwah tersbut secara “istiqamah” dan “istimrar” melakukan “branding” dan “framing” kepada masyarakat bagaimana bermuamalah niaga yang benar dan menunjukkan juga mana yang salah. Jadikan hal-hal yang sesuai dengan syariah Islam sebagai sesuatu yang “keren” dan bergengsi dan yang tidak sesuai sebagai sesuatu yang “hina dina”. Bukankah kita sering berdoa agar yang benar ditampakkan sebagai kebenaran dan diberikan kekuatan untuk menjalankannya dan yang salah tampak salah dan diberikan kekuatan untuk menghindarinya?

Sebagai penutup, fenomena kearifan lokal di peredesaan yang dianggap “katrok” dan “subsisten” justru mempunyai tingkat ketaatan terhadap syariah yang tinggi. Sebagai contoh dalam lembaga non formal terdapat tabungan tanpa bunga, pinjaman tanpa bunga, dana sosial yang murni “tabarru” (itulah “the real takaful”, lebih takaful dari yang menamakan dirinya “takaful”). Pada pertanian banyak dijumpai model seperti “maro, mrapat” yang merupakan penerapan akad syirkah yang nyata, bukan syirkah abal-abal yang tidak terdapat bagi rugi lantaran memberlakukan jaminan. Tanpa mengusik perkembangan lembaga keuangan syariah yang ada, mari kita tempuh Gerakan Anti Riba (GARBA) dengan pendekatan kultural!!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar